Renungan... MALU BERBUAH MULIA (Oleh: Darmono Umar)
Foto Istimewa Darmono Umar |
Selanjutnya Umar datang dan Nabi SAW tetap dengan posisi seperti itu. Lalu Ketika Ustman datang, tiba-tiba Rasulullah SAW duduk dan merapihkan pakaiannya. Ustman masuk dan ikut berbincang-bincang dengan mereka. Setelah mereka keluar, Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ketika Abubakar masuk, Anda tidak mengubah posisi, begitupun ketika Umar masuk, Anda tidak mengubah posisi. Tetapi kenapa Ketika Ustman masuk, Anda duduk dan merapihkan pakaian Anda ?” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Tidakkah aku malu pada orang yang malaikat pun malu kepadanya?!” (HR Imam Muslim).
Allahu Akbar ! Bahkan malaikat pun malu kepada Ustman.
Riwayat di atas menunjukkan betapa bagusnya rasa malu Ustman r.a., hingga dalam Riwayat lain nabi bersabda, “Umatku yang paling pengasih adalah Abubakar, yang paling tegas dalam kebenaran adalah Umar dan yang paling bagus rasa malunya adalah Ustman.” (HR Tirmidzy, beliau mengatakan “hasan shahih”).
Hal ini menunjukkan bahwa sifat malu menjadi sifat unggulan dari Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang telah diberi kabar gembira sebagai ahlul Jannah”. Nabi SAW bersabda : “Malu termasuk keimanan dan Iman tempatnya di Jannah”. (HR. Tirmidzy, beliau mengatakan “shahih”).
Alangkah butuhnya generasi ini akan sifat malu. Zaman dimana banyak orang yang bangga mempertontonkan kebodohannya, membaggakan dosanya, mengobral aib dirinya dan memamerkan auratnya. Zaman dimana pemilik muka tebal dan telanjang dari rasa malu justru menjadi figur-figur publik yang diidolakan. Orang yang memiliki sifat malu dipojokkan dengan gambaran yang tidak mengenakan; kurang gaul, cemen, polos, lugu dan berbagai istilah yang bermaksud menjatuhkan orang yang masih menjaga sifat malunya. Inilah zaman dimana rasa malu telah terkikis nyaris habis, seiring dengan makin tipisnya keimanan yang berhubungan erat dengan rasa malu.
Rasulullah SAW bersabda : “Rasa malu dan iman itu satu rangkaian yang saling berkaitan, jika salah satu hilang, maka lenyap pula yang lain (HR Al-Hakim, Thabrani, Shahih Jami’ash-Shaghir).
Pada sisi lain, justru yang dilestarikan adalah rasa malu yang salah alamat atau salah pengertian. Malu mendatangi majelis ilmu, malu bergabung dengan para fuqara’ untuk shalat berjamaah di masjid, atau malu dalam mengikuti kebenaran. Inilah malu salah sasaran, salah pengertian dan lebih pas bila disebut dengan gengsi dan kesombongan.
Adapun sifat malu yang benar, akan berdampak pada kebaikan dan tercegahnya dari kemaksiatan. Sehingga Nabi SAW bersabda : “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata”. (HR Bukhari dan Muslim).
Lantas apa hakekat sifat malu yang membuahkan kebaikan dan kemuliaan bagi pemiliknya?
Ibnu Hibban dalam Raudhatul ‘Uqaala’ wa Nuzhatul Fudhala’ mengatakan bahwa malu atau al-haya’ adalah satu kata yang mencakup perbuatan menghindari segala apa yang dibenci. Sedangkan Imam Ibnul Qayyim menjelaskan : “Malu (al-haya) berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayya (hujan), tetapi makna ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Lebih jelas lagi, Al-Junaid berkata, “Rasa malu yakni Ketika seseorang memperhatikan nikmat lalu membandingkan dengan keteledoran (yang diperbuat) sehingga menimbulkan suatu rasa, yang kemudian disebut dengan malu. Hakekat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya”. Intinya, rasa malu adalah perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.
Inilah rasa malu yang benar, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi, “malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Adza Wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-perintahNYA, bukan semata-mata yang berasal dari gharizah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang diusahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri”.
Sifat malu yang paling bermanfaat dan diperintahkan adalah malu kepada Allah SWT, yakni ketika seseorang merasa malu kepada Allah tatkala tidak mengerjakan perintah-NYA serta tidak menjauhi laranganNYA. Sementara nikmat Allah yang tercurah atasnya tak terhitung banyaknya dan setiap tetes nikmat itu menuntut dirinya untuk mensyukurinya. Bersyukur dengan cara menggunakan semua nikmat sesuai kehendak PemberiNYA. Maka manusia menjadi malu menggunakan nikmat untuk bermaksiat. Ini seperti yang diungkapkan oleh Hatim bin Al-Asham sebagai salah satu prinsip hidupnya, “Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah terlepas dari pengawasan Allah dimanapun aku berada, karena itu aku malu kepada-NYA”. Begitu yang disebutkan dalam Shipah ash-Safwah karya Ibnu Al-Jauzi.
Buah dari rasa malu kepada Allah yang benar akan membuahkan sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi SAW : “Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu. Barang siapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu, maka hendaklah dia menjaga kepala dan (fikiran) apa yang ada padanya, hendaklah dia menjaga dia menjaga perut dan apa yang masuk ke dalamnya”. (HR Tirmidzy dan Ahmad).
Jenis yang kedua adalah malu kepada orang lain. Rasa malu ini sangat bermanfaat dan seseorang akan mendapat pahala karenanya ketika Dia memiliki rasa malu kepada Allah. Karena itulah, Imam Ibnu Hibban berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berprilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat bergaul dengan sesama manusia. Ketika rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya dan melemahkan potensi perilaku buruknya. Dan sebaliknya, Ketika sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup”.
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka dia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti dia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siap a yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang fikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki masa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, dia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.
Begitulah faedah rasa malu kepada manusia. Bahkan bagi orang beriman, rasa malu bisa menjadi deteksi awal untuk mengendus status dosa, sebelum nantinya mengetahui kepastian dari dalil syar’i. Rasulullah SAW bersabda : “Dan dosa itu adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka (malu) memperlihatkannya pada orang lain”. (HR Muslim).
Adapun rasa malu yang menghalangi seseorang untuk berbuat baik seperti menuntut ilmu, canggung untuk menampakkan syi’ar Islam, malu untuk amar ma’ruf nahi mungkar, maka itu bukanlah rasa malu yang benar. Dan sebenarnya itu bukan pengertian malu, tapi lebih pas disebut minder, pengecut atau penakut. Meskipun orang-orang menyebutnya dengan “malu”. Wallahu a’lam.
(Diolah dari WartaPP 59 – tahun 15 Risalah No.169 Juli 2015).
(DIN)